Dilema Kesehatan Mental Di Era Medsos: Mengapa Kita Lebih Cem as Sekarang?

Dilema Kesehatan Mental Di Era Medsos: Mengapa Kita Lebih Cem as Sekarang?

Media sosial awalnya diciptakan untuk menghubungkan manusia, tetapi kini seringkali justru membuat banyak orang merasa terisolasi, cemas, dan tertekan.
Di era digital 2025 ini, kita hidup dalam dunia yang selalu terkoneksi — namun secara ironis, banyak yang merasa lebih kesepian dari sebelumnya.

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa media sosial yang seharusnya membawa kebahagiaan justru membuat banyak orang merasa tidak cukup, tidak aman, atau bahkan kehilangan arah?

1. Tekanan untuk Selalu Terlihat Sempurna

Setiap kali membuka media sosial, kita disuguhi hidup orang lain yang tampak sempurna — wajah mulus, liburan mewah, dan pencapaian luar biasa.
Tanpa sadar, kita mulai membandingkan diri sendiri dan berpikir,

“Kenapa hidupku tidak seindah mereka?”

Inilah akar dari “comparison trap”, jebakan perbandingan yang menjadi pemicu utama kecemasan dan rendah diri.
Padahal, yang kita lihat hanyalah potongan terbaik dari hidup orang lain, bukan kenyataan sepenuhnya.

2. Overload Informasi dan Kelelahan Mental

Setiap hari, otak kita dibanjiri ribuan informasi: berita, opini, video, komentar, hingga gosip.
Kondisi ini menyebabkan information overload — terlalu banyak data untuk dicerna, tapi terlalu sedikit waktu untuk benar-benar memprosesnya.
Akibatnya, banyak orang merasa lelah mental, sulit fokus, dan mudah stres meski tidak sedang menghadapi masalah besar.

3. FOMO: Takut Tertinggal dari Dunia

Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) membuat kita merasa harus selalu update dengan tren terbaru — mulai dari berita viral, fashion, hingga gaya hidup.
Rasa takut tertinggal ini membuat banyak orang terus menatap layar tanpa henti, bahkan saat seharusnya beristirahat.
FOMO yang terus-menerus bisa memicu kecemasan sosial, perasaan gelisah, dan menurunkan kualitas tidur.

4. Kehilangan Koneksi Nyata

Meski media sosial mempermudah komunikasi, interaksi yang kita lakukan di dunia maya sering kali dangkal dan cepat berlalu.
Kita memiliki ratusan “teman online”, tapi hanya sedikit hubungan yang benar-benar bermakna.
Akibatnya, muncul perasaan kesepian di tengah keramaian digital — sebuah paradoks yang dialami banyak generasi muda saat ini.

5. Algoritma yang Memperkuat Emosi Negatif

Tanpa kita sadari, algoritma media sosial dirancang untuk mempertahankan perhatian kita selama mungkin.
Konten yang memicu emosi — seperti kemarahan, iri, atau ketakutan — cenderung lebih sering ditampilkan.
Inilah sebabnya kita lebih mudah terpancing emosi negatif dan merasa cemas setiap kali membuka media sosial, bahkan tanpa alasan yang jelas.

6. Cara Mengelola Kesehatan Mental di Era Medsos

Kabar baiknya, kita masih bisa mengambil kendali atas hubungan kita dengan media sosial.
Berikut beberapa langkah sederhana:

• Batasi waktu penggunaan — gunakan fitur pengingat screen time.

• Kurasi akun yang diikuti — ikuti hanya konten yang memberi inspirasi dan ketenangan.

• Luangkan waktu offline — habiskan waktu di alam, membaca buku, atau berbincang langsung dengan orang terdekat.

• Sadari realita — ingat bahwa apa yang terlihat di media sosial hanyalah bagian kecil dari kehidupan orang lain.

Kesehatan mental tidak bisa digantikan dengan likes atau followers; ia tumbuh dari keseimbangan antara dunia digital dan kehidupan nyata.

Era media sosial memang memberi banyak manfaat — tetapi juga membawa tantangan besar bagi kesehatan mental.
Kita lebih cemas bukan karena dunia makin buruk, tapi karena terlalu sering melihat dunia lewat lensa digital yang tidak sepenuhnya nyata.

Kini saatnya untuk berhenti sejenak, menarik napas, dan menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak perlu divalidasi dengan tombol “like”.
Menjaga diri dari tekanan media sosial bukan berarti menolak teknologi, melainkan memilih untuk tetap waras dan manusiawi di tengah arus informasi tanpa batas.